Arsip Artikel Pengadilan
KEHARUSAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
KEHARUSAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
Perkawinan adalah perjanjian yang kokoh (mitsaqon gholido), yang dengannya Allah Swt mengikat hubungan antara laki-laki dan perempuan. Perkawinan itu merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan . Namun dalam perjalanan kehidupan pasangan suami istri bisa dilanda masalah, yang akhirnya bisa berakhir dengan perceraian. tentang Perceraian di luar Pengadilan dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Bahwa seorang suami bisa menjatuhkan talaknya kepada istrinya di luar Pengadilan, dari sinilah terjadi perbedaan pandangan terhadap keabsahan perceraian seperti ini. Menurut Hukum (fiqh) Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat di Indonesia, talak adalah hak suami, sehingga talak yang dilakukan oleh suami dimanapun otomatis akan jatuh talaknya.
Menurut Hukum Positif, talak yang dilakukan di luar Pengadilan itu tidak sah. Karna merujuk pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) UUP, bahwa perceraian hanya bisa dilakukan melalui proses sidang di pengadilan, dalam hal ini untuk orang yang beragama Islam di Pengadilan Agama. Pasal 39 ayat (1) UUP menyatakan: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan”. Ayat (2): Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Berdasarkan Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), putusnya ikatan perkawinan karena perceraian dapat diakibatkan karena adanya talak dari suami atau adanya gugatan dari istri. Pasal 114 KHI menyatakan: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”.
Dengan demikian, maka perceraian baik cerai karena talak maupun cerai karena gugatan hanya bisa dilakukan dan sah secara hukum apabila melalui proses sidang di Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri.
Di dalam hukum yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang perkawinan, tidak diatur dan tidak dikenal pengertian talak di bawah tangan. Pengertian talak menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Pasal 117 KHI menyatakan: “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131”.
Dengan demikian, talak menurut hukum adalah ikrar suami yang diucapkan di depan sidang pengadilan agama. Sedangkan apabila talak dilakukan atau diucapkan di luar pengadilan, maka perceraian sah secara hukum agama saja, tetapi belum sah secara hukum negara karena belum dilakukan di depan sidang pengadilan agama.
Perceraian merupakan salah satu sebab dari putusnya perkawinan. Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir oleh beberapa hal, yaitu terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya, atau karena terjadinya perceraian antara keduanya, kematian salah satu pihak, dan atas putusan hakim. Sebagaimana Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 113 Bab XVI Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian b. Perceraian dan c. Atas Putusan Pengadilan.”
Menurut Kompilasi Hukum Islam, dalam Pasal 117 menyatakan bahwa talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 39 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan mengadili perkara perceraian bagi orang yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama.
Jadi, apabila melakukan perceraian seharusnya dilakukan sesuai dengan prosedur pengadilan agama. Kemudian, setelah perkara perceraian tersebut telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka akan dikeluarkan akta cerai sebagai bukti autentik bahwa perceraian telah sah terjadi. Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung sejak pendaftaran, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pada kenyataannya masyarakat berprinsip dalam menyelesaikan persoalan pribadinya ingin dengan cara yang cepat dan tanpa membuat dirinya repot untuk mengurusnya. Maka untuk menyelesaikan masalah perceraian dipercayakan kepada pihak lain yang dianggap mampu dan bisa mengurus tentang maksudnya itu, yakni melalui tokoh masyarakat atau tokoh agama, karena ada anggapan bahwa mengurus perceraian itu malu, sebab merupakan aib bagi dirinya sendiri, tidak lagi melihat benar tidaknya pelaksanaan proses perceraian yang diinginkannya.
Bagi masyarakat banyak, dengan cara tersebut dianggap telah sesuai dengan prosedur yang seharusnya, karena dengan keawaman dan keterbatasan pengetahuan tentang prosedur perceraian yang benar belum dipahaminya. Selain perkawinan yang diikuti bukti telah dilaksanakan perkawinan, juga dalam hal melakukan perceraian, harus diikuti dengan bukti akta cerai yang secara resmi dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang untuk itu karena masih banyak terjadi perceraian yang dilakukan dibawah tangan atau tidak melalui prosedur lembaga resmi yaitu di Pengadilan Agama yang akhirnya keluarlah surat akta cerai yang diduga palsu atau tidak dikeluarkan secara resmi dari Pengadilan Agama.
Selain hal tersebut, banyak dampak-dampak apabila perceraian di luar Pengadilan, salah satunya yaitu dampak yuridis yaitu :
Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan secara efektif yaitu sejak tanggal 1 Oktober 1975 tidak dimungkinkan terjadinya perceraian di luar prosedur pengadilan. Untuk perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Namun nampaknya, dengan ditetapkannya Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak begitu berpengaruh bagi sebagian masyarakat, yang sudah terbiasa dengan melakukan perceraian di luar prosedur pengadilan, padahal perceraian tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap suatu perceraian.
Bahwa status perceraian tersebut tidak memiliki akibat atau kekuatan hukum akibat dari pada perceraian tersebut, karena keputusan cerai tersebut tidak dilakukan di depan sidang pengadilan. Bahwa suatu perceraian yang tidak dilakukan di pengadilan sudah sangat jelas status hukumnya, bahwa perceraian tersebut tidak sah, berdasarkan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam.
Pada dasarnya dalam Islam membenarkan seorang suami yang akan menceraikan suaminya hanya cukup diucapkan di depan istrinya atau orang lain maka jatuhlah talaq, akan tetapi dalam hidup bernegara harus taat kepada peraturan pemerintah, selama tidak bertentangan dengan hukum Islam itu sendiri, karena taat kepada pemerintah, merupakan bagian dari kewajiban sebagai umat Muslim. Pemerintah membentuk suatu peraturan tentang perceraian bertujuan agar tertib administrasi seperti halnya masalah pencatatan perkawinan, kelahiran anak serta mempersulit perceraian. Hal ini pada dasarnya sesuai dengan prinsip hukum Islam mengenai perceraian yaitu mempersulit terjadinya perceraian.
Akibat Perceraian di Luar Pengadilan Terhadap Istri
Perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan akan berpengaruh dan mempunyai dampak negatif terhadap istri, karena perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan tidak memiliki surat cerai yang mempunyai kekuatan hukum, sehingga si janda menikah lagi maka akan mendapatkan kesulitan dengan pihak Kantor Urusan Agama. Karena setiap janda yang hendak menikah lagi harus memiliki surat cerai dari Pengadilan, sehingga menempuh jalur menikah kedua kali lewat nikah di bawah tangan. Selanjutnya setelah terjadinya perceraian (cerai di luar pengadilan), si istri tidak mendapatkan haknya setelah bercerai, seperti nafkah selama masa iddah tempat untuk tinggal, pakaian, pangan.
Akibat Perceraian di Luar Pengadilan Terhadap Suami
Akibat perceraian di luar pengadilan tidak hanya berpengaruh terhadap istri tapi juga berpengaruh terhadap suami. Sama halnya dengan istri, suami yang melakukan perceraian di luar pengadilan akan mengalami kesulitan ketika hendak menikah lagi dengan perempuan lain. Perceraian yang dilakukan di luar pengadilan tidak akan memiliki surat cerai yang sah dan memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga jika hendak menikah lagi melalui Pihak Kantor Urusan Agama tidak akan mengizinkan sampai ada surat yang sah dari pengadilan, akhirnya mengambil jalur menikah di bawah tangan.
Akibat Perceraian di Luar Pengadilan Terhadap Anak
Setiap perceraian pasti akan menimbulkan akibat negatif bagi setiap orang yang berkaitan dengan pasangan suami istri yang bercerai tersebut, baik dari pihak istri,suami, maupun bagi keluarga kedua belah pihak, terlebih lagi perceraian tersebut akan berpengaruh si buah hati, baik perceraian tersebut dilakukan di luar Pengadilan maupun di dalam pengadilan.
Bagi seorang anak, suatu perpisahan (perceraian) kedua orang tuanya merupakan hal yang dapat mengganggu kondisi kejiwaan, yang tadinya si anak berada dalam lingkungan keluarga yang harmonis, penuh kasih sayang dari kedua orang tuanya, hidup bersama dengan memiliki figur seorang ayah, dengan figur seorang ibu, tiba-tiba berada dalam lingkungan keluarga yang penuh masalah yang pada akhirnya harus tinggal hanya dengan salah satu figur, ibu ataupun ayah.
Perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan akan berpengaruh pada kondisi kejiwaan anak, karena sering terjadi si ayah tidak member nafkah secara teratur dan jumlah yang tetap. Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga tidak dapat memaksa si ayah ataupun ibu memberi nafkahnya secara teratur baik dari waktu memberi nafkah maupun dari jumlah materi atau nafkah yang diberikan. Jika perceraian dilakukan di pengadilan agama hal tersebut akan ditetapkan oleh Pengadilan, sesuai dengan Pasal 156 poin f Kompilasi Hukum Islam
REFERENSI
Vivi Hayati. 2015. Dampak Yuridis Perceraian di Luar Pengadilan (Penelitian di Kota Langsa). Dampak Yuridis, Perceraian, di Luar Pengadilan. 10 (2), 224-225.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam
Oleh : Wiwi Fauziah dan Muhammad Fathan Ansori